Perjanjian
Linggarjati
Perundingan Linggarjati atau kadang juga
disebut Perundingan Lingga'r'jati adalah suatu
perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan
persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini
ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara
pada 25 Maret 1947.
Tokoh-tokoh dalam
perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris,
seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni Soviet, yang
kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari
Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik
Indonesia Sutan Sjahrir.
Pemerintah RI pada
tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pernerintah
RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris
maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga
berjanji akan mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik
yang telah dikuasai oleh pemerintah RI.
Van Mook
Wakil dari Belanda Van
Mook memaparkan beberapa usulan yang dirasanya tepat untuk Belanda. Tetapi
usulan tersebut masih memberatkan bangsa Indonesia yang ingin merdeka. Pihak
Indonesia, Kabinet Sutan Sjahrir menanggapi dan membalas usulan Van Mook.
Mayoritas anggota KNIP menentang usulan Kabinet Sjahrir. Pada akhirnya pendapat
yang disetujui yakni :
1. Supaya pemerintah
Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra.
2. Supaya RI dan
Belanda bekerja sama membentuk RIS.
3. RIS bersama-sama
dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta dalam ikatan
kenegaraan Belanda.
Pada awal November
1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto
Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof.
Schermerhorn dengan beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boor, dan van Pool.
Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi
yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan
Linggarjati itu.
Dalam perundingan itu
dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok Perundingan
Linggarjati antara lain sebagai berikut.
1. Pemerintah Belanda
mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas wilayah Jawa, Madura,
dan Sumatera. Daerahdaerah yang diduduki Sekutu atau Belanda secara
berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI.
2. Akan dibentuk Negara
Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda
(Indonesia) sebagai negara berdaulat.
3. Pemerintah Belanda
dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin oleh raja Belanda.
4. Pembentukan NIS dan
Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1 Januari 1949. 5.
Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
6. Pemerintah RI dan
Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7. Bila terjadi
perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan masalahnya
kepada Komisi Arbitrase.
Agresi
Militer Belanda I
Belanda terus melakukan
tindakan yang justru bertentangan dengan isi Persetujuan Linggarjati. Belanda
pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang isinya antara lain
sebagai berikut.
a. Pembentukan
Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama.
b. Pembentukan Dewan
Urusan Luar Negeri.
c. Dewan Urusan Luar
Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa.
d. Pembentukan Pasukan
Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Pembentukan Pasukan Gabungan ini
termasuk juga di wilayah RI.
Pada tanggal 21 Juli
1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisional’ mereka yang
pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa
Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Beberapa orang
Belanda, termasuk Van Mook ingin melanjutkan merebut Yogyakarta dan membentuk
suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris
yang tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut menggiring Belanda untuk segera
menghentikan peperangan terhadap Republlik Indonesia.
Pada tanggal 30 Juli
1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah
Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Keamanan PBB
memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku sejak
tanggal 4 Agustus 1947. Sementara itu untuk mengawasi pelaksanaan gencatan
senjata, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Konsuler dengan anggota-anggotanya
yang terdiri dari para Konsul Jenderal yang berada di wilayah Indonesia.
Tanggal 3 Agustus 1947
Belanda menerima resolusi Dewan Keamanan PBB dan memerintahkan kepada Van Mook
untuk menghentikan tembakmenembak. Pelaksanaannya dimulai pada malam hari
tanggal 4 Agustus 1947. Tanggal 14 Agustus 1947, dibuka sidang DK PBB. Dari
Indonesia hadir, antara lain Sutan Syahrir. Dalam pidatonya, Syahrir menegaskan
bahwa untuk mengakhiri berbagai pelanggaran dan menghentikan pertempuran, perlu
dibentuk Komisi Pengawas.
Perjanjian
Renville
Atas usul Amerika
Serikat DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Amerika
Serikat, Australia, dan Belgia. Komisi Tiga Negara tiba di Indonesia pada
tanggal 27 Oktober 1947 dan segera melakukan kontak dengan Indonesia maupun
Belanda. Indonesia dan Belanda tidak mau mengadakan pertemuan di wilayah yang
dikuasai oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan
untuk mengadakan pertemuan di geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat.
Indonesia dan Belanda kemudian menerima tawaran Amerika Serikat.
Perundingan Renville
secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville yang sudah
berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir
Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang terdiri dari tiga
hal sebagai berikut.
a. Persetujuan tentang
gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10
pasal).
b. Dasar-dasar politik
Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan
pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal)
c. Enam pasal tambahan
dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di
tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
Sebagai konsekuensi
ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit dikarenakan
diterimanya garis demarkasi Van Mook, dimana wilayah Republik Indonesia
meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur.
Agresi
Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Pemerintah RI dan TNI
sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan malakukan aksi
militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi
kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin
oleh A.H. Nasution dan Hidayat. Seperti yang telah diduga sebelumnya, pada
tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua.
Belanda menangkap tiga
pimpinan kita yakni Soekarno, Hatta, dan Sudirman. Agresi militer II itu telah
menimbulkan bencana militer maupun politik bagi mereka walaupun mereka tampak
memperoleh kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang kilat, Belanda
melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan
pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil
menduduki ibu kota Yogyakarta.
Jenderal Sudirman
dengan para pengawalnya pergi ke luar kota untuk mengadakan perang gerilya.
Para ajudan yang menyertai Jenderal Sudirman, antara lain Suparjo Rustam dan Cokropranolo.
Sedangkan pasukan di bawah pimpinan Letkol Soeharto terus berusaha menghambat
gerak maju pasukan Belanda. Kemudian beberapa tokoh militer vang mengikuti
jejak Jenderal Sudirman, antara lain Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel TB.
Simatupang.
Aksi militer Belanda
yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara
terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga
Negara yang ditugaskan oleh PBB.
Peranan
PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi
agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk
pemerintah darurat. PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan
pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai
kunci dalam mengatur arus informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak
terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain.
Monumen PDRI
Konflik antara
Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Untuk mempercepat penyelesaikan
konflik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for
Indonesia) atau Komisi PBB untuk Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini
memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil
keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas.
Terus
memimpin gerilya
Panglima Besar Sudirman
yang dalam kondisi sakit paru-paru justru memimpin perang gerilya. Ia dan
rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju
Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri,
Ponorogo, Trenggalek dan Kediri. Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru
Sudirman kadang harus ditandu atau dipapah oleh pengawal masuk hutan, naik
gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi dan komando
kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji
NKRI.
Jenderal Sudirman ditandu
Sungguh heroik
perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu
gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan dahaga. Sudirman
tidak lagi memimikirkan harta, jiwa dan raganya semua dikorbankan demi tegaknya
kedaulatan bangsa dan Negara.
Peranan
Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk Menunjukkan Eksistensi TNI
Pihak Belanda ternyata
tidak mau segera menerima resolusi DK PBB, tanggal 28 Januari 1949. Belanda
masih mengakui bahwa RI sebenarnya tinggal nama. RI sudah tidak ada, yang ada
hanyalah para pengacau. Sri Sultan berkirim surat kepada Jenderal Sudirman
tentang perlunya tindakan penyerangan terhadap Belanda. Sudirman minta agar Sri
Sultan membahasnya dengan komandan TNI setempat, yakni Letkol Soeharto. Segera
penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dijadwalkan tanggal 1 Maret 1949
dini hari.
Tanggal 1 Maret 1949
dini hari sekitar pukul 06.00 sewaktu sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya
jam malam, serangan umum dilancarkan dari segala penjuru. Letkol Soeharto
langsung memegang komando menyerang ke pusat kota. Serangan umum ini ternyata
sukses. Selama enam jam (dari jam 06.00 - jam 12 siang) Yogyakarta dapat diduduki
oleh TNI.
Belanda
semakin terjepit dalam Persetujuan RoemRoyen
Ketika terlihat titik
terang bahwa RI dan Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas
inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan
perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh
H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian
pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan
selanjutnya. Sebaliknya pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai
persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh pihak RI. Merle
Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan
perundingan.
Perundingan segera
dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai
Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut.
a. Pihak Indonesia
bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk
menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara
Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.
b. Pihak Belanda
menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan
militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan
mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum
Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk
mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan
penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal
Sudirman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan
masalah-masalah perundingan.
Peristiwa
Yogya Kembali
Sejak awal 1949, ada
tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta. kelompok
pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr.
Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan perang dibawah
pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada
10 Juli 1949. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman
memasuki Desa Wonosari. Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh
Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, dan
dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari
Ipphos. Saat menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman
berada di rumah lurah Wonosari. Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian
gerilya dengan ikat kepala hitam.
Tugu Jogja Kembali
Upacara penyambutan resmi
para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10 Juli.
Pada 15 Juli 1949, untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang
dipimpin oleh Moh. Hatta. Pada kesempatan itu Syafruddin Prawiranegara
menyampaikan kepada Presiden Sukarno tentang tindakantindakan yang dilakukan
oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat. Pada kesempatan itu pula
Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada
Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI yang selama delapan
bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.
Konferensi
Inter Indonesia untuk Kebersamaan Bangsa
Banyak yang sadar dan
melakukan pendekatan untuk bersatu kembali dalam upaya pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Mereka sadar hanya akan dijadikan alat dan boneka bagi
kekuasaan Belanda. Oleh karena itu perlu dibentuk semacam front untuk
menghadapi Belanda. Beberapa kali diadakan Konferensi Inter-Indonesia untuk
menghadapi usaha Van Mook dengan Negara bonekanya. Ternyata hasil Konferensi
Inter-Indonesia itu berhasil dengan baik. Walaupun untuk sementara pihak RI
menyetujui terbentuknya Negara RIS, tetapi bukan berarti pemerintah RIS tunduk
kepada pemerintah Belanda.
Pada bulan Juli dan
Agustus 1949 diadakan konferensi Inter-Indonesia. Dalam konferensi itu
diperlihatkan bahwa politik devide et impera Belanda untuk memisahkan
daerah-daerah di luar wilayah RI mengalami kegagalan. Hasil Konferensi
Inter-Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta antara lain:
1. Negara Indonesia
Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan
demokrasi dan federalisme.
2. RIS akan dikepalai
oleh seorang presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab
kepada presiden.
3. RIS akan menerima
penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun Belanda.
4. Angkatan Perang RIS
adalah Angkatan Perang Nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi
Angkatan Perang.
5. Pembentukan Angkatan
Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.
Dalam konferensi
selanjutnya juga diputuskan untuk membenluk Panitia Persiapan Nasional yang
anggotanya terdiri atas wakil-wakil RI dan BFO. Tugasnya menyelenggarakan
persiapan dan menciptakan suasana tertib sebelum dan sesudah KMB. BFO juga
mendukung tuntutan RI tentang penyerahan kedaulatan tanpa syarat, tanpa ikatan
politik maupun ekonomi. Pihak RI juga menyepakati bahwa Konstitusi RIS akan
dirancang pada saal KMB di Den Haag.
KMB
dan Pengakuan Kedaulatan
KMB dibuka pada tanggal
23 Agustus 1949 di Den Haag. Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. Van Maarseveen
dan dari UNCI sebagai mediator adalah Chritchley. Tujuan diadakan KMB adalah
untuk :
1. menyelesaikan
persengketaan antara Indonesia dan Belanda
2. untuk mencapai
kesepakatan antara para peserta tentang tata cara penyerahan yang penuh dan
tanpa syarat kepada Negara Indonesia Serikat, sesuai dengan ketentuan
Persetuiuan Renville.
Setelah melalui
pembahasan dan perdebatan, tanggal 2 November 1949 KMB dapat diakhiri.
Hasil-hasil keputusan dalam KNIB antara lain sebagal berikut. a. Belanda
mengakui keberadaan negara RIS (Republik Indonesia Serikat) sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat. RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian/daerah yang
pernah dibentuk Belanda. b. Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun
kemudian, setelah pengakuan kedaulatan. c. Corak pemerintahan RIS akan diatur
dengan konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI dan BFO selama KMB
berlangsung d. Akan dibentuk Uni Indonesia Belanda yang bersifat lebih longgar
, berdasarkan kerja sama secara sukarela dan sederajat. Uni Indonesia Belanda
ini disepakati oleh Ratu Belanda. e. RIS harus membayar utang-utang Hindia
Belanda sampai waktu pengakuan kedaulatan. f. RIS akan mengembalikan hak milik
Belanda dan memberikan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Pembentukan
Republik Indonesia Serikat
Isi KMB diterima oleh KNIP
melalui sidangnya pada tanggal 6 Desember 1949. Tanggal 14 Desember 1949
diadakan pertemuan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pertemuan ini
dihadiri oleh wakil-wakil Pemerintah RI, pemerintah negara-negara bagian, dan
daerah untuk membahas Konstitusi RIS. Pertemuan ini menyetujui naskah
Undang-Undang Dasar yang akan menjadi Konstitusi RIS.
Tanggal 16
Desember1949, Ir. Sukarno terpilih sebagai Presiden RIS. Secara resmi Ir.
Sukarno dilantik sebagai Presiden RIS tanggal 17 Agustus 1949, bertempat di
Bangsal Siti Hinggil Keraton Yogyakarta oleh Ketua Mahkamah Agung, Mr. Kusumah
Atmaja , dan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri. Tanggal 20
Desember 1949 Kabinet Moh. Hatta dilantik. Dengan demikian terbentuk
Pemerintahan RIS.
Penyerahan
dan Pengakuan Kedaulatan
Pada tanggal 27
Desember 1949, terjadilah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia yang
dilakukan di Belanda dan di Indonesia. Di Negeri Belanda, delegasi Indonesia
dipimpin oleh Moh. Hatta sedangkan pihak Belanda hadir Ratu Juliana, Perdana
Menteri Willem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Sasseu bersama-sama
menandatangani akte penyerahan kedaulatan di Ruang Tahta Amsterdam. Di
Indonesia dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota
Belanda A.H.S. Lovink.
Dengan berakhirnya KMB
itu, berakhir pula perselisihan Indonesia Belanda. Indonesia kemudian mendapat
pengakuan dari negara-negara lain. Pengakuan pertama datang dari negara-negara
yang tergabung dalam Liga Arab, yaitu Mesir, Suriah, Lebanon, Saudi Arabia dan
Afganistan, India.
Walaupun Belanda
sendiri tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 dan hanya mengakui tanggal 27 Desember 1949, namun keberadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia itu tetap terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan
oleh bangsa Indonesia.
Sejumlah 15 negara
bagian/daerah yang merupakan ciptaan Belanda, terasa berbau kolonial, sehingga
belum merdeka sepenuhnya. Negara-negara bagian ciptaan Belanda adalah sebagai
berikut. a. Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan negara bagian pertama
ciptaan Belanda yang terbentuk pada tahun 1946. b. Negara Sumatra Timur,
terbentuk pada 25 Desember 1947 dan diresmikan pada tanggal 16 Februari 1948.
Negara Sumatra Selatan, terbentuk atas persetujuan Van Mook pada tanggal 30
Agustus 1948. Daerahnya meliputi Palembang dan sekitarnya. Presidennya adalah
Abdul Malik. d. Negara Pasundan (Jawa Barat),. e. Negara Jawa Timur, terbentuk
pada tanggal 26 November 1948 melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda.
f. Negara Madura, terbentuk melalui suatu plebesit dan disahkan oleh Van Mook
pada tanggal 21 Januari 1948.
Perdana Menteri RIS,
Moh. Hatta mengadakan pertemuan dengan Sukawati (NIT) dan Mansur (Sumatra
Timur). Mereka sepakat untuk membetuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sesuai dengan usul dari DPR Sumatra Timur, proses pembentukan NKRI
tidak melalui penggabungan dengan RI tetapi penggabungan dengan RIS.
Melalui konferensi itu
akhirnya pada tanggal 19 Mei 1950 tercapai persetujuan yang dituangkan dalam
Piagam Persetujuan. Isi pentingnya adalah :
1. Kesediaan bersama
untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan dari negara RI yang
berdasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945.
2. Penyempurnaan
Konstitusi RIS, dengan memasukkan bagian-bagian penting dari UUD RI tahun 1945.
Untuk ini diserahkan kepada panitia bersama untuk menyusun Rencana UUD Negara
Kesatuan.
Bendera Indonesia Terbesar
Pada tanggal 15 Agustus
1950 diadakan rapat gabungan parlemen (DPR) dan Senat RIS. Dalam rapat gabungan
ini Presiden Sukarno membacakan Piagam Persetujuan terbentuknya negara kesatuan
Republik Indonesia. t. Dengan demikian berakhirlah riwayat hidup negara RIS,
dan secara resmi tanggal 17 Agustus 1950 terbentuklah kembali Negara Kesatuan
RI. Sukarno kembali sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar