Kamis, 08 November 2018

Stabilitas Politik dan Keamanan pada masa Orde Baru




Panca Krida Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
1.      Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2.      Menyusun dan merencanakan Repelita;
3.      Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4.      Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
5.      Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun

adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia.
·         Repelita I (1969 – 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. 
·         Repelita II (1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi. 
·         Repelita III (1979 – 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
·         Repelita IV (1984 – 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
·         Repelita V (1989 – 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua ini bersifat indikatif, artinya memberikan arah perkembangan umum yang hendak dicapai selama lima tahun yang akan datang beserta skala prioritasnya. Secara umum juga diberikan suatu gam- ­baran mengenai laju pertumbuhan ekonomi yang diharapkan serta perobahan struktur ekonomi selama lima tahun yang akan datang, jumlah dana yang dibutuhkan beserta sumber- sumber potensiil daripada dana tersebut, perkembangan ke­sempatan kerja, dan alokasi anggaran pembangunan negara sesuai dengan skala prioritas yang telah digariskan.

KEBIJAKAN FUSI PARTAI
Kebijakan Fusi Partai menjadi kompetisi yang begitu ekstrem antar partai politik dengan jumlah tidak sedikit dan dari berbagai kutub ideologi yang berseberangan dipandang sebagai salah satu sumber instabilitas politik.

Fusi partai pada 1973 mengerucutkan jumlah partai menjadi dua saja plus satu Golongan Karya dalam pemilu 1997 sampai pemilu-pemilu berikutnya. Lima partai; PNI, IPKI, Murba, Partai Katholik, dan Parkindo difusikan ke dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sementara empat lainnya; NU, Parmusi, Perti dan PSII melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan demikian, kontestan peserta menjadi lebih ramping. Otomatis asumsinya akan lebih stabil dan percekcokan antar partai akan lebih kecil terjadi dalam jumlah partai yang sedikit daripada jika jumlah partai tetap banyak.
Sehingga menurut R. William Liddle, para pendiri Orde Baru berhasil membangun sebuah pemerintahan yang stabil. Buktinya sederhana saja. Orde Baru bukan hanya bertahan selama dua puluh enan tahun (sampai buku ini ditulis), melainkan juga jarang mengalami goncangan politik yang berarti, baik dari luar maupun dari dalam. Tentu kontras dengan realitas politik Orde Lama.
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974
Peristiwa 15 Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang populer dengan Malari (R.P Soejono ed, 2009:637)
Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat.

Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya dipenjara.



Trilogi Pembangunan
Trilogi Pembangunan
1.      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3.       Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.

KESIMPULAN :
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masingmasing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi. Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar