Panca
Krida Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas
pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah
pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk
Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal
dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
1. Menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun
dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan
Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan
ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI
dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945;
5. Melanjutkan
penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat
maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun
adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di
Indonesia.
·
Repelita I (1969 – 1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan
infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
·
Repelita II (1974 – 1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau
selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
·
Repelita III (1979 – 1984) menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
·
Repelita IV (1984 – 1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan
industri.
·
Repelita V (1989 – 1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan
pendidikan.
Rencana Pembangunan
Lima Tahun Kedua ini bersifat indikatif, artinya memberikan arah perkembangan
umum yang hendak dicapai selama lima tahun yang akan datang beserta skala
prioritasnya. Secara umum juga diberikan suatu gam- baran mengenai laju
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan serta perobahan struktur ekonomi selama
lima tahun yang akan datang, jumlah dana yang dibutuhkan beserta sumber- sumber
potensiil daripada dana tersebut, perkembangan kesempatan kerja, dan alokasi
anggaran pembangunan negara sesuai dengan skala prioritas yang telah
digariskan.
KEBIJAKAN FUSI PARTAI
Kebijakan Fusi Partai menjadi kompetisi yang begitu ekstrem antar partai
politik dengan jumlah tidak sedikit dan dari berbagai kutub ideologi yang berseberangan
dipandang sebagai salah satu sumber instabilitas politik.
Fusi partai pada 1973 mengerucutkan jumlah partai menjadi dua saja plus
satu Golongan Karya dalam pemilu 1997 sampai pemilu-pemilu berikutnya. Lima
partai; PNI, IPKI, Murba, Partai Katholik, dan Parkindo difusikan ke dalam
tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sementara empat lainnya; NU, Parmusi,
Perti dan PSII melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan
demikian, kontestan peserta menjadi lebih ramping. Otomatis asumsinya akan
lebih stabil dan percekcokan antar partai akan lebih kecil terjadi dalam jumlah
partai yang sedikit daripada jika jumlah partai tetap banyak.
Sehingga menurut R. William Liddle, para pendiri Orde Baru berhasil
membangun sebuah pemerintahan yang stabil. Buktinya sederhana saja. Orde Baru
bukan hanya bertahan selama dua puluh enan tahun (sampai buku ini ditulis),
melainkan juga jarang mengalami goncangan politik yang berarti, baik dari luar
maupun dari dalam. Tentu kontras dengan realitas politik Orde Lama.
Peristiwa
Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974
Peristiwa
15 Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari
1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan
aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina
di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis
karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan
pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang
populer dengan Malari (R.P Soejono ed, 2009:637)
Peristiwa itu diawali
oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi
yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Pada akhir Repelita I mahasiswa
mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan
keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat.
Ketika mereka mendengar
rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14
Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi
menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa
berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang
menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri)
Presiden. Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris
menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran
Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang
tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang
akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase
gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang,
dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai
buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya
dipenjara.
Trilogi
Pembangunan
Trilogi
Pembangunan
1. Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Trilogi
Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang
digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah
pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.
KESIMPULAN
:
Stabilitas
nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas
Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan
tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain
dan resultan dari kebebasan masingmasing individu itu berupa pranata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh
karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk
tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi. Dari
semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal
pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada
stabilitas politik dan keamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar